20 April 2009

Batang Hari Sembilan

Sumatra Selatan, untuk seni musik terlihat dipengaruhi oleh musik dari Jawa, yang dapat kita temukan saat ini seperti lawak atau lagu-lagu gending begitu juga instrument yang dipergunakan. Hal ini tidaklah mengherankan mengingat dulu di sini pernah dikuasai kerajaan Majapahit yang sebelumnya pernah berjaya dengan kerajaan Sriwijaya. Namun di samping lagu-lagu itu dalam struktur mayarakat- nya didapati bentuk semacam karya sastra pantun dan mempergunakan bahasa yang boleh dikatakan mirip dengan bahasa melayu. Agak mengherankan juga jika di puncak Bukit Barisan dan wilayah seputar lembahnya sebahagian masyarakat bukan Melayu namun berbahasa Melayu meskipun tidak persis sama. Adapun suku-suku yang mempergunakan bahasa mirip Melayu itu antara lain ialah : Suku Lematang, Suku Kikim, Suku Lintang, Suku Kaur, Suku Pasemah, Suku Semende, Suku Lembak, Suku Rawas, Suku Palembang, Suku Lahat, Suku Ogan, Suku Enim, Suku Daya dan lain-lain.
Penulis ingin untuk mengetahui lebih lanjut dalam upaya menelusuri asal-usul etnis tersebut dan ingin memproleh jawaban dari kemiripan bahasa yang dipergunakan sehari-hari. Dengan pendekatan lewat beberapa hasil karya sastra berbentuk pantun yang ada pada suku-suku tersebut, berkemungkinan menghasilkan sebuah inspirasi para peneliti di kemudian hari. Pernah ada yang menyelidiki hasil karya sastra ini namun hanya berupa ulasan tentang karya seni sastra yang disebut rejung, sayangnya tidak menyinggung historis asal usul karya sastra, sehingga dapat menyibak walau sedikit tentang asal usul suku-suku tersebut. Berikut ini Penulis akan muatkan hasil penelitian dari Bart :

From the realm of nine rivers:
South Sumatran Rejunk and the commodification of the courting song

Originally rejunk consisted of improvised sung poetry exchanged between youths during agricultural activities or while collecting materials in the forest. In the 1920s the gembus and other lutes were replaced by guitar as the dominant instrument, introducing drastic transformations to the genre. With a rising Palembang based cassette industry, and particularly Pallapa Records acting as patron, rejunk rapidly turned into South Sumatra’s most popular cassette genre: a repertory of songs now widely referred to as lagu batang hari sembilan (‘songs from the nine rivers’).
By means of this repertory a framework is presented in which performers from different South Sumatran communities can compose, depict and discuss culture specific landscapes through song. Dialects and intonation used in each of these communities are, as folklore has it, loosely defined by the rushing sound of one of the many local rivers that constitute the region. Correspondingly almost every community therefor has its own version of lagu batang hari sembilan songs, accentuating group specific vocabularies, rhythms and tunings. The industry emphasises these distinctive markets, packaging songs now with common labels as lagu Besemah (‘songs of the Besemah people’), irama Lintang (‘melodies of the Lintang people’) or petikan Semende (‘Semende-style’). Local pirate radio stations serve these audiences, mainly living and working in distant gardens, meanwhile popularising these melodies and lyrics which are now widely used in local get togethers in the most remote villages.
Initially being a useful tool in courting possible partners, contemporary rejunk evolved in a repertory mainly mediated by cassette and radio thereby resultantly changing its form and contents. While courting songs were never fully improvised, adaptation to the cassette format severely changed its dynamics and reduced further possibilities for interaction. Although sustaining the form of courting songs, the cassette genre acquired additional functions and presently serves to commemorate South Sumatra’s diverse landscape and by romanticising traditional village life, a somewhat nostalgic longing to a certain place. ( Bart Barendregt : Institute of Cultural and Social Studies Faculty of Social and Behavioural Sciences, Leiden University 2002 )1

Rejung atau tembang ini dalam sebuah silogisme kemudian sering disebut dengan irama Batang Hari Sembilan. Pengambilan nama Batang Hari Sembilan itu sebenarnya mengikutke pada adanya 9 anak sungai Musi. Sungai Musi merupakan sungai terbesar di daerah ini yang membelah kota Palembang menjadi dua bagian. Sebutan Batanghari Sembilan, suatu istilah "tradisional" untuk menyebut sembilan buah sungai besar yang merupakan anak Sungai Musi, yakni : Klingi, Bliti, Lakitan, Rawas, Rupit, Batang, Leko, Ogan, dan Komering.2 Sementara pendapat lain dikemukakan sebagai berikut :
We suggested that the term lagu Batang Hari Sembilan, which we had seen on cassettes of guitar songs in South Sumatra, might be a marketing slogan rather than an everyday name for the genre. In March 2000 we had a chance to meet the anthropologist William Collins, who has worked in South Sumatra, and we asked him about this term. We were wrong. Collins said that the term Batang Hari Sembilan alludes to the Batang Hari River but generalizes its name to apply to nine (sembilan) rivers altogether and thus, by synecdoche, to the entire area drained by those rivers—that is, most of South Sumatra and northern Lampung. Lagu Batang Hari Sembilan therefore means music of that whole region. The term may not be restricted to guitar songs—Collins recalled its being used more broadly—but those songs are certainly included within it.3

Namun sekarang ini jarang yang mengetahui terminologis ini karena istilah tersebut selalu dikaitkan dengan lagu-lagu yang ada di kaset produksi Palapa Record yang memuat lagu-lagu daerah yang sebagian besarnya diiringi oleh gitar. Inilah pula yang diinginkan dalam tulisan ini yaitu mengkaitkan istilah tersebut ke dalam musik tersebut.
Kembalike pada alat yang dipergunakan untuk mengiringi tembang, di masa lalu masyarakat memiliki alat-alat musik tradisional seperti Serdam, Ginggung, Suling, Gambus, Berdah dan Gong alat tersebutlah yang mengikuti rejung atau tembang atau adakalanya mereka melantunkan tembang tanpa alat dan tanpa syair “meringit”. Selain ini adalagi sastra lisan seperti guritan, andai-andai, memuning dan lain-lain saat ini sudah langka yang dapat melakukannya. Dengan kemajuan yang dilalui, masyarakatnya berinteraksi dengan peralatan moderen, menyebabkan alat tradisional tersebut bertambah atau berganti alat-alat baru seperti Accordion (ramanika), Biola (piul) dan Guitar (itar). Sejak tahun enam puluh-an didominasi oleh Gitar Tunggal ( hanya mempergunakan dan hanya satu gitar saja ) untuk mengiringi tembang.
Tembang tersebut biasanya hanyalah berupa pantun empat kerat bersajak a-b a-b, bahasa yang dipergunakan sebagaimana telah penulis singgung di awal tadi yaitu mempergunakan bahasa yang lebih mirip melayu. Tentang kemiripan bahasa dan bentuk pantun ini merupakan sampingan dari penulisan ini, yaitu sebuah lontaran pemikiran tentang asal muasal suku-suku di atas. Adapun tujuan tulisan ialah pengumpulan koleksi tembang yang pernah ditembangkan oleh penembang-penembang professional yang telah pernah memasuki dunia rekaman patron yaitu Palapa Record. Dengan adanya koleksi ini diharapkan akan lebih mempermudah penembang-penembang yang ingin mecoba untuk menekuni dunia tarik suara ini, dalam upaya melestarikan budaya daerah.
Semoga saja dari koleksi ini dapat untuk dikembangkan lebih jauh dan syukur-syukur kiranya dapat menghantar pendengarnya lebih mendekatkan diri ke pada Sang Penciptanya. Hal ini sangat berkemungkian dapat untuk direalisasikan mengingat irama dan nada yang muncul dari tembang atau rejung itu memiliki nuansa estetik natural dalam arti membawakan suara alam semesta yang pada dasarnya jarang orang tidak dapat mengappresiasinya. Nuansa estetik natural ini tidak hanya sekedar memenuhi konsumsi pemikiran enerjik melainkan lebih kepada unsur qalbu sentimental.
Jiwa insaniah yang terdalam dapat diraih maka terkadang tidak mengherankan jika unsur pemikirian tidak terlalu dominan sehingga dapat memberi celah hidup dalam hati, di situlah letak dari tembang ini. Tentu saja sasarannya adalah manusia yang masih hidup secara batiniahnya. Sebab jika kita mau mendengar perkataan Rasulullah saw bahwasanya ; “banyak didapati manusia yang mati sebelum mati”. Akhir kalam semoga koleksi ini membawa manfaat dalam arti yang sebenarnya.

Sumber bacaan diambil dari situs :
1 http://iias.leidenuniv.nl/oideion/general/audiences/contents/abstracts.html
2 http://search.yahoo.com/search?p=sejarah+semendo
3 http://www.folkways.si.edu/projects_initiatives/indonesian/liner_notes/volume20.html



Jakarta, 31 Agustus 2005
Dimuat 20 April 2009

1 komentar:

  1. oiiii.. setitu ding..? anye luk anggapan dengah.. luk dide masukah sungai ye anyut ke-Samudera Indoensia.. seperti ayik Luas, ayik Kinal, ayik, padang Guci, Ayik Kedurang, ayik manak, ayik alas, .....galak gale irama batanghari 9... lukmane cobe komentari kudai.........

    BalasHapus