20 April 2009

Batang Hari Sembilan

Sumatra Selatan, untuk seni musik terlihat dipengaruhi oleh musik dari Jawa, yang dapat kita temukan saat ini seperti lawak atau lagu-lagu gending begitu juga instrument yang dipergunakan. Hal ini tidaklah mengherankan mengingat dulu di sini pernah dikuasai kerajaan Majapahit yang sebelumnya pernah berjaya dengan kerajaan Sriwijaya. Namun di samping lagu-lagu itu dalam struktur mayarakat- nya didapati bentuk semacam karya sastra pantun dan mempergunakan bahasa yang boleh dikatakan mirip dengan bahasa melayu. Agak mengherankan juga jika di puncak Bukit Barisan dan wilayah seputar lembahnya sebahagian masyarakat bukan Melayu namun berbahasa Melayu meskipun tidak persis sama. Adapun suku-suku yang mempergunakan bahasa mirip Melayu itu antara lain ialah : Suku Lematang, Suku Kikim, Suku Lintang, Suku Kaur, Suku Pasemah, Suku Semende, Suku Lembak, Suku Rawas, Suku Palembang, Suku Lahat, Suku Ogan, Suku Enim, Suku Daya dan lain-lain.
Penulis ingin untuk mengetahui lebih lanjut dalam upaya menelusuri asal-usul etnis tersebut dan ingin memproleh jawaban dari kemiripan bahasa yang dipergunakan sehari-hari. Dengan pendekatan lewat beberapa hasil karya sastra berbentuk pantun yang ada pada suku-suku tersebut, berkemungkinan menghasilkan sebuah inspirasi para peneliti di kemudian hari. Pernah ada yang menyelidiki hasil karya sastra ini namun hanya berupa ulasan tentang karya seni sastra yang disebut rejung, sayangnya tidak menyinggung historis asal usul karya sastra, sehingga dapat menyibak walau sedikit tentang asal usul suku-suku tersebut. Berikut ini Penulis akan muatkan hasil penelitian dari Bart :

From the realm of nine rivers:
South Sumatran Rejunk and the commodification of the courting song

Originally rejunk consisted of improvised sung poetry exchanged between youths during agricultural activities or while collecting materials in the forest. In the 1920s the gembus and other lutes were replaced by guitar as the dominant instrument, introducing drastic transformations to the genre. With a rising Palembang based cassette industry, and particularly Pallapa Records acting as patron, rejunk rapidly turned into South Sumatra’s most popular cassette genre: a repertory of songs now widely referred to as lagu batang hari sembilan (‘songs from the nine rivers’).
By means of this repertory a framework is presented in which performers from different South Sumatran communities can compose, depict and discuss culture specific landscapes through song. Dialects and intonation used in each of these communities are, as folklore has it, loosely defined by the rushing sound of one of the many local rivers that constitute the region. Correspondingly almost every community therefor has its own version of lagu batang hari sembilan songs, accentuating group specific vocabularies, rhythms and tunings. The industry emphasises these distinctive markets, packaging songs now with common labels as lagu Besemah (‘songs of the Besemah people’), irama Lintang (‘melodies of the Lintang people’) or petikan Semende (‘Semende-style’). Local pirate radio stations serve these audiences, mainly living and working in distant gardens, meanwhile popularising these melodies and lyrics which are now widely used in local get togethers in the most remote villages.
Initially being a useful tool in courting possible partners, contemporary rejunk evolved in a repertory mainly mediated by cassette and radio thereby resultantly changing its form and contents. While courting songs were never fully improvised, adaptation to the cassette format severely changed its dynamics and reduced further possibilities for interaction. Although sustaining the form of courting songs, the cassette genre acquired additional functions and presently serves to commemorate South Sumatra’s diverse landscape and by romanticising traditional village life, a somewhat nostalgic longing to a certain place. ( Bart Barendregt : Institute of Cultural and Social Studies Faculty of Social and Behavioural Sciences, Leiden University 2002 )1

Rejung atau tembang ini dalam sebuah silogisme kemudian sering disebut dengan irama Batang Hari Sembilan. Pengambilan nama Batang Hari Sembilan itu sebenarnya mengikutke pada adanya 9 anak sungai Musi. Sungai Musi merupakan sungai terbesar di daerah ini yang membelah kota Palembang menjadi dua bagian. Sebutan Batanghari Sembilan, suatu istilah "tradisional" untuk menyebut sembilan buah sungai besar yang merupakan anak Sungai Musi, yakni : Klingi, Bliti, Lakitan, Rawas, Rupit, Batang, Leko, Ogan, dan Komering.2 Sementara pendapat lain dikemukakan sebagai berikut :
We suggested that the term lagu Batang Hari Sembilan, which we had seen on cassettes of guitar songs in South Sumatra, might be a marketing slogan rather than an everyday name for the genre. In March 2000 we had a chance to meet the anthropologist William Collins, who has worked in South Sumatra, and we asked him about this term. We were wrong. Collins said that the term Batang Hari Sembilan alludes to the Batang Hari River but generalizes its name to apply to nine (sembilan) rivers altogether and thus, by synecdoche, to the entire area drained by those rivers—that is, most of South Sumatra and northern Lampung. Lagu Batang Hari Sembilan therefore means music of that whole region. The term may not be restricted to guitar songs—Collins recalled its being used more broadly—but those songs are certainly included within it.3

Namun sekarang ini jarang yang mengetahui terminologis ini karena istilah tersebut selalu dikaitkan dengan lagu-lagu yang ada di kaset produksi Palapa Record yang memuat lagu-lagu daerah yang sebagian besarnya diiringi oleh gitar. Inilah pula yang diinginkan dalam tulisan ini yaitu mengkaitkan istilah tersebut ke dalam musik tersebut.
Kembalike pada alat yang dipergunakan untuk mengiringi tembang, di masa lalu masyarakat memiliki alat-alat musik tradisional seperti Serdam, Ginggung, Suling, Gambus, Berdah dan Gong alat tersebutlah yang mengikuti rejung atau tembang atau adakalanya mereka melantunkan tembang tanpa alat dan tanpa syair “meringit”. Selain ini adalagi sastra lisan seperti guritan, andai-andai, memuning dan lain-lain saat ini sudah langka yang dapat melakukannya. Dengan kemajuan yang dilalui, masyarakatnya berinteraksi dengan peralatan moderen, menyebabkan alat tradisional tersebut bertambah atau berganti alat-alat baru seperti Accordion (ramanika), Biola (piul) dan Guitar (itar). Sejak tahun enam puluh-an didominasi oleh Gitar Tunggal ( hanya mempergunakan dan hanya satu gitar saja ) untuk mengiringi tembang.
Tembang tersebut biasanya hanyalah berupa pantun empat kerat bersajak a-b a-b, bahasa yang dipergunakan sebagaimana telah penulis singgung di awal tadi yaitu mempergunakan bahasa yang lebih mirip melayu. Tentang kemiripan bahasa dan bentuk pantun ini merupakan sampingan dari penulisan ini, yaitu sebuah lontaran pemikiran tentang asal muasal suku-suku di atas. Adapun tujuan tulisan ialah pengumpulan koleksi tembang yang pernah ditembangkan oleh penembang-penembang professional yang telah pernah memasuki dunia rekaman patron yaitu Palapa Record. Dengan adanya koleksi ini diharapkan akan lebih mempermudah penembang-penembang yang ingin mecoba untuk menekuni dunia tarik suara ini, dalam upaya melestarikan budaya daerah.
Semoga saja dari koleksi ini dapat untuk dikembangkan lebih jauh dan syukur-syukur kiranya dapat menghantar pendengarnya lebih mendekatkan diri ke pada Sang Penciptanya. Hal ini sangat berkemungkian dapat untuk direalisasikan mengingat irama dan nada yang muncul dari tembang atau rejung itu memiliki nuansa estetik natural dalam arti membawakan suara alam semesta yang pada dasarnya jarang orang tidak dapat mengappresiasinya. Nuansa estetik natural ini tidak hanya sekedar memenuhi konsumsi pemikiran enerjik melainkan lebih kepada unsur qalbu sentimental.
Jiwa insaniah yang terdalam dapat diraih maka terkadang tidak mengherankan jika unsur pemikirian tidak terlalu dominan sehingga dapat memberi celah hidup dalam hati, di situlah letak dari tembang ini. Tentu saja sasarannya adalah manusia yang masih hidup secara batiniahnya. Sebab jika kita mau mendengar perkataan Rasulullah saw bahwasanya ; “banyak didapati manusia yang mati sebelum mati”. Akhir kalam semoga koleksi ini membawa manfaat dalam arti yang sebenarnya.

Sumber bacaan diambil dari situs :
1 http://iias.leidenuniv.nl/oideion/general/audiences/contents/abstracts.html
2 http://search.yahoo.com/search?p=sejarah+semendo
3 http://www.folkways.si.edu/projects_initiatives/indonesian/liner_notes/volume20.html



Jakarta, 31 Agustus 2005
Dimuat 20 April 2009

16 April 2009

KUMPULAN LAGU-LAGU

Berikut ini adalah kumpulan lagu-lagu yang sempat saya pelajari dari guru-guru Guitar Tunggal, dan pernah saya kuasai. Di sini saya cantumkan nama lagu berikut dari siapa lagu tersebut saya pelajari. Dalam masalah penamaan lagu tersebut kalau kita amati ada yang diambil dari nama suatu daerah yang merupakan asal lagu tersebut, ada pula yang diberi nama dengan situasi penembang di mana lagu tersebut dibawakan oleh penembangnya. Kemudian ada pula sebuah lagu dimainkan oleh beberapa orang penembang.

1. Ading Tulah M. Adenan
2. Aik Kah Rawang Nur’aini & Malili
3. Aku Dik Nanak Discik
4. Anak Umang Discik
5. Antan Delapan Peghangai Zainuddin
6. Antan Delapan Zainuddin
7. Antan Delapan M. Adenan
8. Belande Gile Syafrin
9. Benantu Baru Junaidi Daulay
10. Bermega Shailin
11. Cik Minah Saprin
12. Cik Minah Benuri Sahad
13. Cik Minah Zainuddin
14. Dirut Kemu N N
15. Dirut Karmadi
16. Du Badan Waya
17. Erai-erai Zainuddin
18. Gelisah Waya
19. Indung-Indung Sahilin
20. Indung-Indung Zainuddin
21. Jambai Angin Benuri
22. Jambu Ijo Zainuddin
23. Jambu Mbak Kulak Benuri
24. Jandaku Waya
25. Jangan Ndak Uah Liberupuk Benuri
26. Kejalak Kejali-jali Zainuddin
27. Kejalak Kejali-jali (tarian) Zainuddin
28. Lancang Kuning Benuri
29. Litak Litung Zainuddin
30. Marikan Zainuddin
31. Marikan Discik
32. Marikan Benuri Sahad
33. Masmirah Zainuddin
34. Merambai Pipit Bahrum
35. Merantau Jauh Zainuddin
36. Meredai Sukat Zainuddin
37. Muare Kuang Dasi’i
38. Naik Tebing Ruhainah
39. Nasib Lematang Zainuddin
40. Nasib Melarat Zainuddin
41. Nasib Serawak Zainuddin
42. Nduk-Enduk M. Adenan
43. Ndung Cian Jauhari
44. Ngganti Bapang Sianu N N
45. Numpang Tandang N N
46. Nyeding Sukat (Semende) Karmadi
47. Petang-Petang Waya
48. Pinggan Mangkok Zainuddin
49. Pucuk Pauh Bik Waya
50. Pucuk Pisang Zainuddin
51. Pulau Kelapa Benuri Sahad
52. Pulau Pandan Zainuddin
53. Ribang Kesian Zainuddin
54. Ribu-Ribu Besak Benuri
55. Ribu-Ribu Kecik M. Adenan
56. Ribu-ribu Pecahan Zainuddin
57. Rindu Ke Mane Jauhari
58. Same Linjang Sahilin
59. Selayak Burung Lempipi M. Adenan
60. Serai serumpun Zainuddin
61. Seranti Zainuddin
62. Seranti Benuri Sahad
63. Serebat Zainuddin
64. Setambul due Zainuddin
65. Setambul due (tarian) Zainuddin
66. Tige Serangkai Zainuddin
67. Tunggu Tubang Ruhainah
68. Tutuk Padi Zainuddin
69. Ude Nak Ude Sulman
70. Ujan Angin (5=6) M. Adenan
71. Umak Oi Umak Zainuddin

Demikian antara lain lagu yang sempat untuk saya pelajari dan masih banyak lagu yang belum sempat untuk dipelajari mungkin lain waktu ditambah lagi jika ada izin dari yang Maha Kuasa (Insya Allah).

03 April 2009

Kak Zainuddin Dalam Kenangan


Sejarah Munculnya Rekaman Lagu Daerah Sumsel

Kalau seseorang pernah tahu dan ingat dengan Palapa Record, yang mana telah memproduksi mungkin hampir seribu album atau lebih lagu daerah, maka sepertinya kita akan mengingat kembali sosok sesorang yang bernama Zainuddin, karena dialah orang pertama yang direkrut oleh pihak Palapa Record untuk mengisi dapur rekaman di Palapa tersebut. Akan tetapi sebelum kita berbicara lebih jauh tentang kisah Kak Zainuddin dalam aktivitasnya rekaman di Palapa, ada sedikit ceritera berkaitan dengan media elektronik yang merupakan faktor penentu munculnya kaset daerah yang di produksi oleh Palapa rekord tersebut. Di penghujung tahun enam puluh-an teknologi elektronik mulai masuk ke daerah-daerah tidak terkecuali daerah Semende, Lahat, Pagaralam dan sekitarnya. Masuknnya tape recorder menggantikan pick up yang mempergunakan piringan hitam yang sudah lebih dahulu masuk. Sebelumnya hanya radio yang sudah dikenal oleh masyarakat yang jauh datang terlebih dahulu. Dengan media radio inilah masyarakat dapat mendengarkan hiburan dan berita-berita dari penyiar. Untuk siaran hiburan biasanya akan diperdengarkan berbagai lagu apakah itu lagu perjuangan atau pun lagu jenis lainnya sementara untuk menampilkan kesenaian daerah maka diperdengarkan pula khusus satu acara, dikenal dalam siaran RRI Palembang pada malam tertentu yang diberi nama lagu-lagu Batang Hari Sembilan yang diisi secara live oleh pembawa lagu. Namun jauh sebelumnya ada yang menceriterakan bahwa yang pertama mulai dikenal oleh masyarakat Semende khususnya daerah Way Tenong yaitu radio yang harus mempergunakan baterai sebayak lima puluh buah, akan tetapi radio jenis ini jarang yang memilikinya karena harganya yang sangat mahal, sehingga jika bukan benar-benar orang yang punya kebun kawe (kopi)yang lebar, tidak mungkin akan dapat untuk membeli. Untuk dapat membelinya haruslah memiliki kopi yang banyak, kurang lebih satu atau dua ton kopi, harga kopi ketika itu sangat murah, ditambah lagi perkebunan masa itu masih bersifat tradisionil bibit kopi diambil dari bawah pohon kopi yang sudah terlalu masak dan tidak sempat untuk dipetik sehingga ia runtuh dan tumbuh di bawah pohon induknya, inilah yang diambil untuk bibit yang kemudian dipindahkan ke sebuah tanah garapan yang sudah disiapkan, begitulah metodenya jika seseorang ingin berkebun kopi, sehingga untuk mendapatkan 2 ton kopi seseorang harus memiliki kebun setidak-tidaknya seluas 10 hektar, berbeda dengan sekarang ini seseorang yang akan membuat perkebunan kopi, dia akan mempersiapkan bibit terlebih dahulu dengan jalan mencari pohon kopi yang sehat dengan buah yang lebat dan besar-besar, lalu dipilih buahnya yang paling sempurna lalu disemaikan terlebih dahulu setelah bibit berusia satu tahunan barulah dipindahkan ke kebun, hasilnya bisa mencapai tiga sampai sepuluh kali lipat dari cara sebelumnya.

Dari Belajar Hingga Rekaman

Kembali ke pembicaraan mengenai kak Zainuddin dan Palapa Record, setelah tape recorder mulai beredar maka saat itu orang mulai dapat memilih lagu-lagu yang ingin mereka dengar dengan cara mengganti kaset tidak seperti halnya radio yang hanya dapat mendengar tanpa dapat untuk menentukan sendiri lagu yang diinginkan selain itu tape tersebut dapat pula menangkap suara dari luar sehingga sejak saat itu mulai bisa merekam suara (recording), bila ada musik atau tembang yang menarik, dan mulai pulalah dapat untuk didokumentasikan audio dengan jalan direkam. Kak Zainuddin sekitar pertengahan tahun 50-an mulai mengenal yang dinamakan guitar, saat itu gitar yang dia pakai pertama itu adalah gitar yang terbuat dari bambu buatan sendiri karena untuk membeli oleh beberapa faktor belum dapat dan akhirnya dia dibelikan oleh pamannya, dengan gitar itulah kak Zainuddin belajar gitar secara autodidak sejak saat itu di wilayah Sumatera Selatan mulailah dikenal seorang bernama Zainuddin sebagai pegitar tunggal, di masa itu pula mulai muncullah studio rekaman pribadi di daerah Lahat yang mempergunakan tape recorder seadanya yang dimiliki oleh Damak. Lewat studio inilah orang mulai banyak mengenal Zainuddin. Kak Zainuddin yang saat itu masih muda dan dia suka-suka saja bila ada yang membutuhkan dirinya untuk minta tolong memperdengarkan lagu tembang gitar tunggal, Damak pun tidak ragu-ragu mengundang kak Zainuddin untuk memetik gitar tunggal walaupun hanya diupah dengan rokok satu bungkus ditambah kopi satu gelas serta goreng-gorengan pisang maka tak kalah semangatnya kak Zainuddin pun menembangkan lagu-lagu gitar tunggalnya, dari kolaborasi antara petikan jari-jarinya ditambah dengan suaranya yang halus membuat ia sebagai seorang mastro dibidang ini, Damak pun tidak kalah semangatnya maka iapun terkadang mengundang gadis-gadis dari Kikim, Tebing, Besemah, Semende dan lainnya, agar dapat menembang dengan kak Zainuddin, dari mana-mana para penembang pun berdatangan yang merasa punya suara yang baik akan mencoba untuk bertembang dengan kak Zainuddin atau mereka menembang kak Zainuddin hanya mengiringi saja dengan gitar tunggalnya, orang akan merasa bangga sekali bila dapat bersanding menembang dengan kak Zainuddin. Apabila sudah demikian maka Damak pun tidak ingin kesempatan itu tersia-sia iapun memasang beberapa buah tape recorder dan merekam petikan dan tembang dari mereka ini, sehingga banyak didapati lagu daerah yang beredar melewati kaset rekaman Damak ini, bagi siapa yang berminat untuk mencari lagu-lagu daerah waktu itu maka dapat dicari di toko yang dimilikinya itu, bagi yang menginginkan datang saja ke toko Damak, begitulah berlanjut banyak penembang yang pernah menembangkan lagu dengan pendamping kak Zainuddin sebagai pemetik gitarnya. Namun yang paling menarik bagi penulis ialah setelah mendapat ceritera bahwa dahulu di masa itu ada seorang penembang yang mempunyai suara bagus dari Pasemah ia bernama Rusilah ia sebagai seorang gadis dengan suara emas ditambah pula memiliki kemampuan untuk mengajar menari sehingga tidak heran kalau banyak yang mengundangnya untuk mengisi acara ketika ada pesta pernikahan atau acara hari besar lainnya, dari acara-acara kecil sampai dengan acara yang diselenggarakan pemerintah kabupaten Rusilah pernah tampil, dialah mascot kabupaten LIOT saat itu. Akan tetapi sayangnya meskipun ia memiliki kemampuan tinggi seperti itu namun secara finansial tidak mencukupi karena orang hanya memeberi sekedarnya saja sehingga jika ia ingin tetap hidup maka haruslah bekerja untuk mencari makan. Ketika suatu ketika ia bekerja di Lahat di saat itu damak pun tau lalu ditawarilah Rusil untuk menembangi gitar tunggalnya kak Zainuddin maka karena memang darah cinta seni yang mengalir pada dirinya ia pun memenuhi permintaan Damak tersebut lalu terjadilah rekaman sebagaimana rekaman-rekaman sebelumnya, dan itu adalah rekaman pertama yang merupakan pertemuan kedua master, yang satu master gitar tunggal yang satu lagi master penembang, rekaman malam itu sampai dengan jam 12:00 mereka sudah mendapatkan lima lagu: Antan Delapan, Ribu-ribu, Serai Serumpun, Satu Kemang kedue Nangke dan lagu Tutuk Padi, yang ditembangkan oleh Rusil dan digitari oleh kak Zainuddin lima lagu tersebut sudah mencukupi setengah kaset dengan durasi 30 menit. Kata Kak Zainuddin pada Rusilah, "Rusil sekarang sudah jam 12:00 cukup batas ini saja dulu, besok malam kita lanjutkan lagi yang setengah kasetnya". Maka merekapun pulanglah ke rumah masing-masing, dengan harapan besok atau lusa malam akan menambah empat lagu lagi untuk mengisi setengah kaset lagi. Keesokan malamnya kak Zainuddin langsung mendatangi rumah Damak dengan maksud untuk melanjutkan rekaman dengan Rusilah. Sesampai di rumah Damak kata kak Zainuddin, "Mak ! kita lanjutkah remkaman kite nggak Rusil (Mak ! kita lanjutin rekaman kita dengan Rusilah malam ini)". Jawab Damak "Oi, Din, Ade Masalah",. Kata kak Zainuddin lagi, "ah jangan beragam tuape die masalahnye (jangan canda masalah apaan)?". "Ngguknian kaba (Benar/serius) !" kata Damak lagi. "masalah apa", kata kak Zainuddin mulai tersa tidak enak dan antusias ingin tau, "Dik tau agi kite ndak neruskah rekaman, Rusil lah matik gi akap tadi (Kita nggak bisa lagi meneruskan rekaman dengan Rusilah, karena Rusilah telah meninggal tadi pagi)". Tanpa berkata apa-apa lagi saking sedihnya kak Zainudiin langsung lunglai serasa tubuhnya tidak lagi memiliki tulang, lemah, lesu, dengan segudang perasaan yang tidak menentu karena ditinggalkan sahabat yang dikenalnya itu. Penulis sempat mendengarkan sisa rekaman tersebut benar-benar sempurna, satu-satunya rekaman yang paling sempurna di antara rekaman-rekaman yang ditembangkan oleh pasangan, yang dijalani kak Zainuddin.

Rekaman Di Palapa Record

Di awal tahun 70-an di Pelembang berdirilah studio Rekaman yang diberi nama oleh pemiliknya dengan nama "Palapa Record" yang khusus memproduksi lagu-lagu daerah Sumatera bagian Selatan. Kak Zainuddinlah orang pertama yang ditawari untuk rekaman, saat itu beberapa orang dari Palembang dari Palapa Record datang ke daerah Merapi masuk dalam wilayah Kabupaten Lahat, sesampai di sana mereka menawarkan apakah kak Zainuddin bersedia dikontrak untuk menjadi salah satu pemetik dan penembang lagu gitar tunggal di Palapa Record, dengan syarat kalau sudah kontrak tidak boleh lagi rekaman di tempat lain, seraya memperlihatkan uang baru-baru seratusan rupiah sejumlah 300 ribu rupiah, kak Zainuddin pada awalnya berkeras menolak namun karena bujukan dan permintaan beberapa pihak akhirnya ia bersedia. Sejak saat itu mulailah beredar rekaman lagu-lagu kak Zainuddin ke berbagai pelosok Sumatera Bagian Selatan, melewati Palapa Record sendiri sebagai agen dan distributornya, setahun kemudian barulah menyusul penembang-penembang dan penggitar lainnya, setelah mereka lihat ternyata kak Zainuddin sudah setahun ikut rekaman di Palapa dan kasetnya sudah banyak beredar dan tidak ada apa-apa, artinya tidak terlibat barulah mereka pada bersedia untuk ikut rekaman di Palapa Record. Peroses perekaman ini berlangsung sampai akhir tahun 80-an, selama kurun waktu 15 tahun itu banyak sekali album lagu daerah yang diproduksi oleh Palapa, dari berbagai tembang, berbagai alat musik dan dari berbagai suku.

Kesan Penulis terhadap Kak Zainuddin

Dia adalah orang yang baik rendah hati dan tidak sombong walaupun tahan mati demi untuk membela haknya yang benar, berpakaian selalu rapi dan hidup yang mandiri. Pernah suatu ketika, ketika ia di Jakarta di saat mengajarkan gitar kepada saya, tiba-tiba datang seorang anak muda yang kebetulah dari daerah awalnya sengaja datang ke Tangerang untuk cari kerja setelah kerja kurang lebih tiga bulan tiba-tiba perusahaannya bangkrut. Kemudian ia menelpon saya, dia bilang "boleh tidak kalau saya mampir ke rumahmu karena saya sekarang lagi keteteran untuk makan saja tidak ada lagi, perusahaan yang saya ikuti sudah bangkrut". Saya jawab meskipun saya tidak tau persis siapa orang tersebut, "datang saja kemari", lalu saya beri rute perjalanan menuju ke rumah saya padanya. setelah lebih kurang lima jam kemudian dia sampai di rumah akhirnya saya teima dan kemudian setelah itu saya katakan padanya sehabis mempersilahkan makan, "istirahatlah, di sini bebas-bebas saja kalau mau minum ambil sendiri begitu juga kalau lapar lihat saja sendir" kemudian saya tinggalkan buat istirahat saat itu sekitar jam 14:00 sore, tidak lama sayapun tertidur setelah satu jam setengah kurang lebih, saya terbangun dari tidur, ada apa rame-rame di sebelah apa ada lagi tamu lain pikir saya dalam hati, rupanya pemuda tersebut sedang mengajari pak Cik saya bermain gitar tunggal akhirnya saya duduk diruang sebelah yang mana ruang tersebut memang disediakan buat tamu bila ada yang datang dan Kak Zainuddin juga diruangan itu yang mana memang tersedia dipan untuk tidur dan juga ada kamar mandi sendiri, dan saya pun duduk dimana mereka sedang bermain guitar tidak lama kemudian kak Zainuddin pun melihat saya sudah dudk di sana ia pun langsung bergabung dan duduk di samping saya yang sedang mendengarkan anak muda tersebut mengajarkan gitar tunggalnya saya perhatikan ada beberapa petikan (tebah) yang sudah dia mainkan akan tetapi dalam pengelihatan saya masih banyak kekurangan di sana-sini. Pak cik saya itu sengaja mulai memuji-muji pemuda tersebut, lalu pemuda itu pun makin semangat memberikan ceramah-cermah tentang teknik pemetikan gitar tunggal, semakin dipuji-puji semakin semangat pula pemuda tersebut memberikan wejangannya. Sampai pada satu ketika pemuda tersebut merasa bangga lantaran menyangka bahwa di sana tidak ada orang yang tau memainkan gitar tanpa menahan diri atau memperhatikan sekitarnya mulailah ia mengatakan "nah sekarang giliran murid dulu yang bermain gitarnya, masa iya sejak tadi guru terus", sambil meletakkan gitar di hadapan kami, "ah... tidak, kata Pak Cik guru itulah yang bisa yang lain tidak ada yang bisa", maka pemuda tersebut kembali mengambil guitar yang tadi sudah dletakkan seraya mulai lagi memainkan lagu-lagu (tebah)dengan rasa sangat bangganya, ia merasa bahwa tidak ada lagi yang kepandaiannya melebihi dia, suatu perasaan yang biasa timbul bagi orang yang baru menekuni permainan gitar, sehingga belum banyak pengalaman bermain gitar. Lebih kurang satu setengah jam kami mendengarkan pemuda itu, saya perhatikan reaksi kak Zainuddin saat itu ia hanya tersenyum mendengarkan celoteh pemuda tersebut yang menjelaskan panjang lebar tentang teknik-teknik permainan lagu-lagu gitar tunggal, ironisnya lagu-lagu yang dibawakan pemuda itu hampir semuanya adalah lagu kak Zainuddin yang sudah di pelajari penggitar lain kemudian direkam kembali di Palapa Record lalu dipelajari pula oleh penggitar lain dan penggitar lain lagi, sehingga tidak menutup kemungkinan pemuda tersebut sudah mendapatkan lagu tersebut melewati sepuluh orang pertaliannya untuk sampai ke kak Zainuddin. Tidak ada komentar dari kak Zainuddin hanya tersenyum melihat tinggkah laku pemuda tersebut, dan tidak juga mengambil gitar lalu dipetik untuk menunjukkan diri bahwa siapa dirinya yang memiliki kepandaian 10 kali bahkan 100 kali lipat dari pemuda itu, dan tidak juga memberikan teguran yang akan mengakibatkan pemuda itu malu. Padahal dahulu sekitar penghujung tahun Di saat ia lagi semarak-semaraknya rekaman di Palapa biasanya akan berkumpul baik itu pemetik gitar atau pun penembangnya, sehingga tidak jarang terjadi pertukaran lagu antara pemetik gitar, biasanya saat mereka kumpul maka antara mereka akan saling tanya mana lagumu yang baru, maka merekapun ada yang agak pelit tapi banyak yang sifatnya sangat terbuka yang seperti ini diantaranya kak Zainuddin dia tidak akan sungkan-sungkan memberi bila ia punya termasuk masalah lagu ini, sebagai imbalan maka merekapun tidak sungkan untuk memperdengarkan lagu mereka kepada kak Zainuddin, biasanya kalau sudah seperti ini kak Zainuddin tidak akan kesulitan untuk mendapatkan lagu dari orang lain, akan tetapi tidak demikian halnya dengan orang lain mereka terkadang kesulitan untuk mendapatkan lagu kak Zainuddin bukan karena tidak sungguh-sungguh diajarkan melainkan hanya mereka saja tidak dapat untuk menyerapnya kalaupun dapat hanya berkisar 60% saja. Dari sikap itu dapat kita lihat tidak pernah kak Zainuddin akan mengecilkan apalagi memandang rendah kemampuan orang lain, itulah salah satu kelebihan beliau. Dan tidak pula ia akan merasa tersinggung saat orang lain mengecilkan dirinya lantaran mereka kurang populer sementara kak Zainuddin seperti batu karang tak tergoyahkan posisinya, hampir setiap lagunya enak untuk didengar tidak jarang bila kak Zainuddin membawakan lagu yang berasal dari salah satu daerah ia akan menampilkan lagu tersebut dengan caranya "in the way only He can do", dari situ menunjukkan bahwa ia adalah benar-benar seseorang yang memahami hakekat seni.
Sekarang penembang dan pemetik gitar itu sudah tiada hanya karya-karyanya yang tersisa yang mungkin dapat dijadikan sebagai bahan bahwa dia pernah menyemarakkan dunia gitar tunggal di dunia ini, dan dapat menjadi rujukan bagi yang ingin memperdalami petikan-petikan gitar seperti dia. Inilah sekelumit ceritera tentang kak Zainuddin penulis sengaja menuliskan ini sebagai pelepas rasa rindu kepadanya, tidak ada unsur atau kepentingan lainnya. Berikut ini saya tampilkan salah satu rekaman tidak lama menjelang kepergian beliau. Inilah dia Kak Zainuddin dalam "Latak Litung".

02 April 2009

Gitar Tunggal

Istilah Gitar Tunggal mungkin tidak banyak dikenal oleh orang-orang yang hobby memainkan gitar meskipun sebenarnya seseorang yang baru belajar gitar biasanya selalu memainkannya dengan sendirian saja begitu pula seseorang yang akan mengaransemen sebuah lagu tidak jarang dimulai dengan satu gitar saja, begitu pula pemain gitar klasik juga sering tampil dengan mempergunakan satu gitar yang disebut dengan solo guitar. Akan tetapi mereka tidak menyebutnya dengan gitar tunggal secara khusu karena biasanya setelah lagu tersebut jadi dan mereka akan tampil, musik yang mereka mainkan itu akan berkolaborasi dengan alat musik lainnya. Berbeda halnya dengan istilah Gitar Tunggal di sini ialah bentuk format jadinya atau hasil finalnya memang hanya mempergunakan hanya satu gitar saja dan dimainkan oleh satu orang saja. Namun begitu cukup lumayan dan enak untuk didengar. Saya adalah salah seorang yang menyenangi musik tradisionil ini. Musik tradisional khas suku Semende (maksud disini adalah suku-suku serumpun anak bukit barisan (istilah penulis) atau sering diistilahkan dengan Lagu Batang Hari Sembilan ini terdiri dari beberapa suku antara lain : Besemah, Lahat, Ogan, Pagar Alam, Lintang dan daerah yang memiliki kemiripan bahasa degan dealek "e" contoh kata = tebu), kenapa menyebut Semende kebetulan saja penulis adalah seorng Semende.

Saya mulai mengenal Gitar Tunggal pada tahun 1974 sejak saya usia 12 tahun pertamakali belajar dengan ayah saya, dan hanya belajar satu tebah maksudnya satu jenis lagu, lalu setelah itu vakum kemudian pada tahun 1978 saya bertemu dengan seorang guru, yang saya memanggilnya Kak M Adenan dan saya mulai lagi belajar gitar tunggal dan mendapatkan sekitar 6 bentuk petikan atau tebah, setelah itu vakum lagi, pada tahun 1987, saya belajar dengan Mang Benuri Sahad sorang pemain gitar tunggal yang padai sekali dari beliau saya mendapat tambahan lagu sebanyak 20 lagu, dilanjutkan dengan adiknya yaitu Bik Waya yang pernah tenar pada eranya untuk orang-orang negeri Batang Hari Sembilan, darinya saya mendapat satu jenis petikan dan sembari memperdalam 20 lagu di atas. Lalu pada tahun 2004 saya belajar dengan Kak Zainuddin (alm.) dari beliau saya dapatkan lagu-lagu dari berbagai daerah khususnya lagu dari Lematang Ulu, akan tetapi yang sangat disayangkan pertemuan kami hanya sebentar hanya beberapa tahun saja beliau sudah dipanggil menghadap-Nya. Setelah beliau tiada saya masih berlatih dengan seadanya dengan harapan dapat mewarisi walau hanya beberapa persen kemampuan beliau.

Sebenarnya berbicara tentang Gitar Tunggal tidak lepas kaitannya dengan pembicaraan mengenai Sastra dan budaya daerah tersebut antara lain yang paling berhubungan adalah Sastra Lisan. Sastra lisan suku-suku tersebut antara lain : Guritan, Anda-andai, memuning, dan rejung (rejunk). Untuk tiga jenis sastra yang pertama, guritan, andai-andai dan memuning, biasanya tidak memakai media alat musik. Akan tetapi untuk jenis rejung dapat dilakukan tanpa alat musik atau mempergunakan alat musik. Alat musik yang dapat dipergunakan antara lain adalah Ramanika (Accordion), Piul (Violin), Gambus, ataupun Gitar Tunggal. Sementara alat musik yang lain seperti Suling (seruling), Seredam , dan Ginggung tidak dapat dipergunakan untuk megiringi tembang atau rejung dikarenakan ketiga alam musik tersebut adalah alat musik (sejenis alat musik tiup). Dari sekian alat musik yang dapat mengiringi tembang hanya guitarlah yang paling menonjol dikarenakan berkemungkinan dalam mempelajarinya tidak terlalu sulit bila dibandingkan dengan alat-alat yang lainnya. Gitar tunggal merupakan alat musik yang terbilang baru dipergunakan oleh suku Semende dan tidak seberapa banyak lagu yang dapat dimainkan dengan alat musik ini beberapa lagu itu antara lain : Lagu Ude Nak Ude, Lagu Ujan Angin, Tebah Ndung Ci'an dan beberapa lagu lagi, akan tetapi tidak banyak, berbeda halnya dengan lagu-lagu dari daerah Lematang yang dipopulerkan oleh Kak Zainuddin sejak tahun enam puluh-an seperti : lagu Ribu-Ribu, lagu Antan Delapan, Lagu Merantau Jauh, Lagu Segindang-Gindang, lagu Erai-Erai, dan lagu-lagu lainnya yang bibawakannya dengan amat sempurna. Begitu pula Lagu daerah Kikim seperti Lagu Cik Minah dikemasnya menjadi lagu Mas Mirah. Penulis berpendapat hampir seluruh lagu yang pernah dimainkannya dapat dikatakan mendekati sempurna ia benar-benar seorang maestro untuk bidang ini kalau tidak dapat dikatakan melegenda. Begitu pula lagu gitar tunggal dari daerah lainnya, seperti : Untuk daerah Kikim dikenal pegitartunggalnya antara lain Syafrin, Untuk daerah Ogan Sahilin, Denali, Malili, daerah Musi Rawas, dikenal nama Rusli Effendi, untuk daerah Lintang IV Lawang dikenal Han Sofian, dan M Rozi, daerah Pagar Alam dikenal nama seperti Isran AR, dari Besemah dikenal nama seperti Waya, begitu pula halnya dengan daerah-daerah lainnya, masing-masing mereka yang tersebut di atas memiliki album lebih dari sepuluh album banyaknya yang diprakarsai oleh Palapa Record yang dimulai sejak awal tahun 70-an sampai dengan penghujung tahun 80-an. Sementara itu untuk daerah Semende sendiri tidak begitu dikenal pegitartunggalnya kalau boleh dibilang hanya beberapa orang diantaranya ialah Effendi dan Junaidi Daulay, yang dalam rekamannya biasanya sudah memuat juga cara-cara petikan dari Lematang atau daerah lainnya.

Tembang

Tembang dimaksud di sini adalah sya'ir yang didendangkan oleh penyanyi yang disebut dengan penembang. Biasanya tembang tersebut tidak sebagaimana yang dilantunkan oleh penyanyi-penyanyi dunia yang memiliki alur sebuah cerita, melainkan ia merupakan beberapa buah pantun untuk sebuah lagunya biasanya berkisar antara 6 s/d 20 pantun pertebahnya (perlagu) dengan durasi sekitar 15 sampai dengan 30 menit untuk satu tebahnya. Sebagaimana pantun pada umumnya yaitu terdiri dari empat baris bersajak ab ab, dua baris pertama sebagai sampiran dan dua baris berikutnya adalah isi dari pantun tersebut.

Steeman Gitar

Karena permainan Gitar Tunggal umumnya tidak bersama-sama dengan alat musik lainnya maka dalam steemannya didapati beberapa jenis steeman sepengetahuan penulis diapati sebanyak lebih dari enam jenis steeman guitar. Maka tidaklah heran bila ada yang berkomentar pemain Gitar Tunggal itu memainkan gitar yang salah steeman, tentu saja bila ia melihatnya dari sudut steeman musik pada umumnya. Jenis steeman ini tiada lain gunanya agar supaya sebuah tebah (lagu) itu dapat dimainkan dengan mudah. Biasanya satu steeman dapat dibawakan beberapa tebah, lalu untuk tebah yang lainnya mempergunakan steeman yang lain pula.

Itulah sekelumit kisah tentang Gitar Tunggal, dan beberapa hal yang berkaitan dengannya, namun sekarang sayangnya lagu-lagu tersebut semakin hari semakin ditinggalkan oleh generasi penerus suku semende dan suku lainnya dan mulai tergeser oleh lagu-lagu dan budaya yang lain sehingga tidak banyak lagi yang meminatinya apalagi menguasainya, berkemungkinan besar nantinya akan hilang sama sekali, dan tidak akan dikenal lagi oleh beberapa generasi yang akan datang.